Beranda > Tarbiyah > Asasiyat: Amal

Asasiyat: Amal

Banyak orang merasa telah beramal, tetapi tak ada buah apapun yang ia petik dariamalnya, baik itu perubahan sifat, kelembutan hati ataupun kearifan budi dan keterampilan beramal. Bahkan tak sedikit di antara mereka beramal jahat tetapi mengira beramal baik. Karenanya Al-Quran selalu mengaitkan amal dengan kesalihan, jadilah amal salih. kata shalih tidak sekedar bermakna baik, karena untuk makna ini sudah tersedia istilah-istilah khusus, seperti hasan, khair, ma’ruf, birr (kebaikan) dan lain-lain. Sedangkan shalih adalah suatu pengertian tentang harmoni dan tanasuqnya (keserasian) suatu amal dengan sasaran, tuntunan, tuntutan dan daya dukun. Amal disebut shalih bila pelakunya selalu mengisi ruang dan waktu yang seharusnya diisi.

Seorang pendusta atau pengingkar agama tidka selalu mengambil bentuk penghujat arogan terhadap agama itu. Ia dapat tampil sebagai dermawan atau bahkan pelaku shalat yang khusyu. Namun pada saat yang bersamaan Allah menyebutnya pendusta agama, karena ia menghardik s yatim dan tak menganjurkan orang untuk memberi makan si miskin (QS. 107: 203). Allah telah mengajarkan kita bagaimana bersikap benar, bahkan kepada tetangga yang Yahudi atau Nasrani. Da’wah adalah kerja yang amat mulia, karenanya harus dilakukan dengan memenuhi dua syarat utama, yaitu al-ikhlas was shawab.

Ikhlas karena dilakukan semata-mata untuk dan karena Allah. Shawab (benar) karena dilakukan berlandaskan sunnah RasuluLLAH, SAW. Mungkin seseorang menampakkan diri berda’wah ke jalan Allah, tetapi ia telah berda’wah di jalan dirinya, demikian catatan dan komentar Syaikh Muhammad bin Abd. Wahhab dalam Kitabut Tauhid dan Alallamah Abdullah bin Alawi Alhaddad dalam Adda’watut Taammah atas Qs. 12:108.

Betapa banyak amal menjadi berlipat ganda nilanya oleh niat yang baik dan itu tak akan terjadi bila pelakunya tak punya ilmu tentang hal tersebut. Dan demikian pula sebaliknya.

Barangsiapa yang beramal tanpa melandasinya dengan ilmu, maka bahayanya akan lebih banyak daripada manfaatnya, sebagaimana amal tanp niat jadinya anaa (kelelahan) dan niat tanpa ikhlas jadinya habaa (debu, kesia-siaan) dan ikhlas tanpa tahqiq (realisasi) jadinya ghutsaa (buih).

Kita tak punya kekuatan apapun untuk melarang orang bekerja dalam lingkup Amal Islami, bahkan mereka yang menjalaninya dengan cara yang kita nilai merugikan perjuangan. ya, pada saatnya kita mendapat penyikapan salah dari masyarakat sebagai reaksi salah yang dilakukan para aktifis Amal Islami. Qadliyah (problema) kaum Khawarij dan berbagai gerakan lainnya menunjukkan fenomena para pengamal, dari yang ikhlas minus fiqh, sampai yang oportunis dan pemanfaat jargon.

Alkisah di suatu masa, seorang alim menyelamatkan seekor beruang yang terhimpit sebatang pohon besar. Sebagai tanda terima kasihnya atas jasa sang syaikh, ia berikrar untuk menjadi pengawalnya yang setia. Dan memang ia buktikan itu. Suatu hari sang tuan tertidur kelelahan. Sesuai ikrarnya beruang menjaga tuannya dengan setia, agar tak mendapat bahaya atau gangguan. Yang menjengkelkannya yaitu lalat-lalat yang hinggap-pergi di wajah syaikh, membuat tidurnya tak nyaman. Inilah saatnya beruang membuktikan loyalitasnya. Ia angkat batu besar dan dihantamkannya ke seekor lalat yang hinggap di dahi tuannya. Pecah kepalanya dan entah ke mana larinya sang lalat jahannam itu.

Hama-hama amal
Sebagaimana tumbuhan, amalpun terancam hama. Riya (beramal untuk dilihat), ujub (kagum diri), sum’ah (beramal untuk populer/didengar), mann (membangkit-bangkit pemberian) adalah hama yang akan memusnahkan amal. Seorang aktifis yang berkurban dengan semua yang dimilikinya harus meng-imunisasi amalnya agar di saat hari perjumpaan kelak tak kecewa karena amalnya menjadi haba-an mantsura (debu yang beterbangan).

“Mereka membangkit-bangkit kepadamu keislaman mereka (sebagai jasa). Katakanlah: Jangan kalian bangkit-bangkit keislaman kalian kepadaku, bahkan sesungguhnya Allah-lah yang telah memberi karunia besar kepadamu karenai Ia telah membimbing kalian untuk beriman, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (Qs. 49:17).

Tidak serta merta rasa beban berat dalam beramal berubah jadi kesukaan. Kata kuncinya terletak pada: Pemaksaan, pembiasaan dan (akhirnya menjadi) irama hidup. Junaid Albaghdadi mengatakan: 40 tahun kusembah Allah, ditahun ke 40 itulah kutemukan ledzatnya.

Pelipatgandaan kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan para sahabat tak dapat dikejar generasi manapun. Bayangkan, hanya dalam dua dekade saja telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada pola sikap, pandangan hidup dan tradisi bangsa Arab dan bangsa-bangsa muslim lainnya. Kerja besar tagyir ini sukses seperti ungkapan Sayyid Quthb dalam Maalim fit thriq berkat komitment mereka yang (1) menuntut ilmu bukan sekedar untuk mengoleksi ilmu, (2) putus dari jahiliyah kemarin dan menghayati hidup baru dalam Islam, tanpa keinginan sedikitpun untuk kembali ke kancah Jahiliyah dan (3) bersiap siaga menungg komando Alquran seperti prajurit siaga menunggu aba-aba komandan.

Kerja Untuk Perubahan Masyarakat
Kecenderungan sufi murung, sudah nampak sejak zaman Rasulullah SAW, namun selalu mendapat koreksi dari beliau. Suatu masa dalam suati perjalanan pasukan kecil beliau, seorang mujahid terpesona oleh keindahan wahah (oase) di tengah padang pasir dengan rumpun kurma, sebongkah lahan produktif dan sumber air yang cukup untuk seumur hidup.

Oh, alangkah nikmatnya bila aku tinggal di sini, beribadah kepada Allah dan tak perlu lagi kembali ke Madinah, sehingga aku bebas dari gangguan masyarakat atau mengganggu mereka.

Rasulullah SAW. segera mengoreksi:

Jangan lakukan hal itu, karena kedudukan kalian di jalan Allah sehari saja, menandingi 70 tahun tinggal dan beribadah di sini.

Bahkan Imam Ali bin Abi Thalib RA mengecam para pengikutnya yang loyo dalam memperjuangkan kebenaran dan pendirian yang mereka yakini:

Oh, alangkah mencengangkan keberanian mereka dalam kebatilan
dan lesu kalian dalam memperjuangkan hak
Oh, ajaib nian ketika kalian jadi sasaran tembak
Kalian diserang dan tak balas menyerang
Allah ditentang dan kalian senang

Hari ini ribuan surat kabar, radio dan televisi dunia bekerja sama di berbagai kawasan untuk menyebarkan fasad. Menyedihkan nasib si miskin, yang mampu beli TV tetapi tak bisa makan. hati mereka dibunuh sebelum jasad mereka dihancurkan senjata pemungkas. kemana ribuan kader yang hanya menggerutu tanpa berbuata apapun kecuali gerutu. Apakah masyarakat dapat berubah dengan gunjingan dari mimbar masjid? Hari ini rumah ummat kebakaran, tidakkah setiap orang patut memberi bantuan memadamkan api walaupun hanya dengan segelas air; dengan pulsa, perangko dan kertas surat yang dikirimkan kepada pedagang kerusakan dan pengingkarannnya terhadap ulah mereka yang sangat menyengsarakan masyarakat dengan siaran dan penerbitan fasad, sebelum mereka mengirim daras dan nyawa mereka ke sana ketika usaha santun tak lagi membawa hasil?

Banyak upaya dilakukan. Sebagian menyentuh kulit tanpa isis. Sebagian memaksakan pekerjaan berpuluh tahun dalam waktu sekejap mata. Sebagian membangun simbol-simbol tanpa peduli substandsi dan tujuan untuk apa wahyu diturunkan. Mereka yang senantiasa tadabbur Al-Quran akan melihat keajaiban ungkapan. Ketika Allah mengisahkan kedunguan ahli kitab yang bangga dengan status zahir mereka, ia menyabutkan: Mereka mengatakan, takkan masuk surga kecuali (yang berstatus) Yahudi atau Nasrani. Itulah angan-angan mereka. Dan ketika Ia mengisahkan sikap keberagamaan kaum beriman, disebutnya prestasi mereka: Ya, barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah seraya berbuat ihsan, maka baginya ganjarannya di sisi Tuhannya dan tiada ketakutan atas mereka, tiada pula mereka akan bersedih.” (QS. Albaqarah: 111-112).

Banyak orang mengandalkan nisbah diri dengan nama besar suatu organisasi atau jama’ah berbangga dengan kepemimpinan tokoh perubah sejarah, namun sayang mereka tak pernah merasa defisit, padahal sama sekali tidak meneladani keutamaan mereka:
“Barangsiapa lambat amalnya, tidak akan menjadi cepat oleh nasabnya”

Apa yang harus dikerjakan?
Hanya pada saat kekikiran dituruti, hawa nafsu ditaati dan setiap orang kagum hanya kepada dirinya sendiri, maka ummat ini boleh mulai mendaftar koleksi orang-orang khassahnya dan meninggalkan awam yang tenggelam. Orang beramal di hari itu seperti 50 kali kerja kamu hari ini. (HR. Abu Dawu, Tirmidzi, Nasa’i).

Sebagian kerja da’wah memang kata, tetapi tak dapat dituding sebagai cuma omong, seperti halnya penyiar dan reporter yang mengisi daftar profesi kerjanya dengan ngomong. Namun perlu dibedakan mana da’wah yang mencukupkan diri dan puas dengan memberi informasi seram kepada khalayak, atau meninabobokan khalayak dengan mimpi-mimi indah, atau mengingatkan bahaya seraya memberi jalan keluar. Mampukah mereka tampil sebagai problem solver, ataukah cukup menjadi problem speaker, lalu peluang terbesarnya hanya jadi problem maker. Dan hari ini banyak juga orang kaya karena jadi problem trader.

Dari:
Asasiyat Tarbawi Edisi 12 Th. II 30 September 2000 M/ 2 Rajab 1421 H
(Almarhum) KH. Rahmat Abdullah

Kategori:Tarbiyah
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar